Oleh: Hedri Wahyudi | November 21, 2010

SILAT PANGEAN

Tulisan ini saya kutip dari makalah yang saya tulis sewaktu SMU untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah. Makalah ini ditulis mengacu pada (bersumber dari) buku Karangan UU. Hamidiy yang berjudul ” Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu”.

Silat di Rantau Kuantan sering pula disebut “Silat Pangean” namun nama “Silat Kuantan” juga pernah menjadi nama yang cukup disegani. Jika diperhatikan para pewaris guru silat di Rantau Kuantan itu, maka sampai tahun 1980-an sudah ada empat generasi yang meneruskan budaya tersebut.

Ada tiga pewaris silat di Rantau Kuantan yang masing-masing menerima gelar tradisional (dari pendahulunya) yaitu “Sutan Nan Garang”, “Baromban”, dan “Jiusu”. Ketiga tokoh inilah yang menghitamputihkan permainan silat di daerah ini. Ketiga tokoh itu mendapatkan jabatan secara garis keturunan dan “ditanam” menjadi guru setelah guru (tokoh) yang tua meninggal atau mengundurkan diri.

Silat (silek) diajarkan di “Laman Silek”. Kegiatan itu dilakukan secara tradisional pada malam hari dalam bulan Ramadhan selepas sholat tarawih sampai waktu dinihari (makan sahur). Permainan diiringi dengan “rarak gondang godang” atau “rarak jaluar”. Permainan dimulai dengan duduk bersujud menghadap kiblat membaca doa (Al Fatihah) dan menyalami guru serta tokoh-tokoh yang berada di laman silek serta diakhiri dengan bersalaman sesama yang bersilat.

Sejarah Silat Pangean
Seorang lelaki dari daerah rantau kuantan (yang dikemudian akan menerima gelar Sutan Nan Garang) awalnya berguru silat ke daerah Lintau Buo Pangean Minang Kabau. Guru silat di lintau Buo itu kemudian berhiba hati karena tingkah laku anak buah (murid-muridnya) yang ingin berebut kekuasaan menggantikan gurunya. Dalam keadaan serupa itu maka lelaki asal Rantau Kuantan tersebut sang Guru pergi ke Rantau Kuantan. Sang Guru menerima tawaran itu, maka berangkatlah mereka berdua menuju Rantau Kuantan. Dalam perjalanan itu daerah yang dituju ialah Koto Tuo Siberakun, suatu kampung asal yang terletak di daerah yang cukup tinggi. Untuk mencapai Koto Tuo itu, mereka mengikuti aliran Batang Kuantan lalu kemudian naik di Gunung Kesiangan ini dengan mudah mereka sampai ke Koto Tuo (Konon dari riwayat itulah Laman Silek Jiusu di negeri Siberakun dibuat setentang atau menghadap ke Gunung Kesiangan sebagai tanda penghormatan atas kedatangan guru silat itu di Koto Tuo Siberakun).

Setelah tiba di Koto Tuo maka didirikanlah oleh Guru tua itu laman silek dengan bantuan muridnya tadi. Maka bergurulah kembali sang murid (yang kemudian bergelar Sutan Nan Garang) kepada guru asal Lintau Buo tersebut. Berselang kemudian maka Sang Guru terpanggil ke hadirat Illahi, maka tinggallah sang murid menggantikan guru dengan gelar Sutan Nan Garang. Kepada Sutan Nan Garang, bergurulah seorang lelaki dari negeri Pangean (di Rantau Kuantan Sekarang) yang kelak menjadi guru silat pula dengan gelar Baromban. Disamping itu ada lagi seorang murid dari negeri Siberakun, yang juga kemudian menjadi guru silat pula dengan gelar Jiusu (Konon singkatan dari Haji Yusuf).

Setelah Barombang dan Jiusu selesai berguru kepada Sutan Nan Garang di Koto Tuo, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing menjadi guru untuk mengajarkan silat. Tetapi terhadap Jiusu dianjurkan oleh Sutan Nan Garang agar berguru lagi kepada Baromban, sebab beliau khawatir jika pelajaran yang diberikannya kepada Barombang jauh melebihi pelajaran yang diberikannya kepada Jiusu.

Atas anjuran sang Guru, bergurulah Jiusu kepada Baromban dengan cara menyamar sebagai orang kebanyakan. Pada suatu hari Barombang mencoba menguji kesetiaan murid-muridnya dengan cara pura-pura sakit perut. Beliau pergi keatas loteng kemudian pura-pura mengerang kesakitan. Dalam tipu daya seperti itu beliau memanggil murid-muridnya minta tolong tampungkan kotorannya (maaf) dari bawah karena beliau tidak sanggup lagi turun kebawah. Tidak ada seorangpun diantara muridnya mau kecuali Jiusu. Setelah Jiusu menyatakan kesediaannya maka ternyata bukan kotoran yang jatuh dari atas, tetapi “godok pisang” (makanan yang digoreng terbuat dari pisang yang diremas dan diaduk) hangat. Dengan ujian tersebut terbuktilah bagaimana Jiusu berkhidmat begitu rupa kepada sang guru sehingga dia menjadi murid kesayangan yang pada akhirnya dia menghirup semua ilmu itu.


Tanggapan

  1. wah… wah… hebat.. tambah hebat anak muda kini…

  2. banyak ya versinya cerita pangean nih

  3. apa pun cerita nya bagi kami anggota silat pangean tetap satu..

  4. […] https://hedriwahyudi.wordpress.com/2010/11/21/silat-pangean/ […]


Tinggalkan komentar

Kategori